3 UTS-3 My Stories for You
Menuju Ketidakmungkinan
Suara bel istirahat menggema, seperti tanda kebebasan kecil bagi anak-anak kelas 12 IPA 2 yang baru saja menamatkan bab panjang dari pelajaran kimia. Suara tawa dan kursi yang bergeser memenuhi udara, hingga langkah seorang guru BK dengan buku polio tebal menelan semua riuh itu dalam diam.
“Ada yang kasus lagi?” bisik seseorang dari barisan belakang. “Enggak, kayaknya enggak,” sahut yang lain pelan.
Guru BK membuka buku itu di meja depan, suaranya tenang tapi tegas, “Tulis nama, kelas, jurusan dan universitas yang kalian inginkan untuk SNBP di buku ini. Setelah selesai, kembalikan ke saya.”
Satu per satu anak menulis cepat, lalu pergi, seolah pilihan masa depan hanyalah formalitas yang harus diselesaikan sebelum makan siang. Aku menunggu hingga kelas hampir kosong, dan ketika tiba giliranku, tanganku sempat ragu, sebelum akhirnya kutulis: “STEI-K ITB”
Beberapa hari kemudian, ruang BK dipenuhi wajah-wajah penasaran yang menelusuri nama-nama alumni. Suara bisik-bisik mengisi ruangan seperti desir angin. Aku ikut berdiri di sana, antara harap dan cemas.
“Kalau kamu mau aman, coba universitas lain saja,” kata Bu BK dengan nada lembut tapi menyakitkan. “Nama sekolah kita jarang diterima di ITB. Peluangnya kecil.” Aku hanya tersenyum kecil, “Tidak apa-apa, Bu. Saya tetap mau coba.”
Hari pengumuman SNBP tiba. Jari-jariku gemetar saat menekan tombol “lihat hasil.” Tulisan itu muncul: “Tidak Lolos.” Hening. Dunia seolah berhenti sebentar.
Kabar itu cepat beredar. “Baru kali ini anak rank 1 paralel IPA gak lolos SNBP,” kata salah satu guru. Aku menunduk, tapi dalam hati ada suara kecil yang berbisik, “Belum waktunya menyerah.”
Malam-malam setelahnya penuh cahaya lampu belajar dan suara halaman buku yang dibuka ulang. Aku belajar sekeras mungkin, mungkin lebih dari sebelumnya. Setiap rumus, setiap soal, seperti batu pijakan menuju mimpi yang dulu dianggap mustahil.
Orangtuaku sempat bercanda, “Kalau kamu benar-benar keterima ITB, nanti Ayah kasih hadiah mobil.”. “Dan Ibu traktir kamu ke luar negeri!”. Aku hanya tertawa, waktu itu terdengar seperti janji yang tak mungkin ditepati.
Lalu hari itu datang. Tulisan di layar berbeda kali ini: “Selamat! Anda diterima di Institut Teknologi Bandung.”. Aku terpaku. Dunia seolah berhenti lagi, tapi kali ini bukan karena kecewa, melainkan tak percaya. Air mata yang kutahan akhirnya jatuh juga.
Ayah datang memelukku erat, dan dengan suara serak ia berkata, “Janji hadiahmu… ternyata harus beneran kita tepati, ya.”
Sejak hari itu aku belajar satu hal, jangan pernah menyerah, bahkan ketika semua orang, bahkan dunia, meragukanmu. Karena keajaiban seringkali bukan datang dari kemungkinan, tapi dari keyakinan.